Diantara Roda dan Doa, Rizky Menjemput Mimpi Lolos SNBT
Usung Prinsip Berlomba untuk Kebaikan, Prof Anang Sujoko Daftar Bacadek FISIP UB
Tips Mengelola Stres Jelang SNBT 2025 Versi Dosen Psikologi UB
Informasi Pendaftaran PKM-KKN FBD 2025
Usung Adem, Ayem dan Guyub, Ahmad Imron Rozuli Jadi Pendaftar Pertama Bakal Calon Dekan FISIP UB
Siapkan Mental Jelang UTBK, SMA Taman Harapan 1 Bekasi Kunjungi FISIP UB

Filosofi Mudik Lebaran Yang Berpengaruh Terhadap Psikologi Masyarakat Indonesia

Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi acara tahunan di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam, namun di Indonesia tidak hanya umat Islam saja yang merayakan hari raya Idul Fitri, umat agama lainnya seperti agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu juga ikut memeriahkannya.

 

Salah satu ciri khas perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah fenomena mudik. Mudik yaitu fenomena sosio-kultural atau yang kerap masyarakat Indonesia lakukan dengan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga. Fenomena mudik memiliki konsekuensi sosial, budaya, dan psikologis yang signifikan selain perjalanan fisik.

 

Dalam situasi seperti ini, sangat menarik untuk memahami bagaimana fenomena mudik mempengaruhi psikologis seseorang. Kesehatan mental adalah komponen yang sangat penting dari kesejahteraan seseorang, yang mencakup keseimbangan emosional, psikologis, dan sosial yang positif.

 

Pengalaman mudik, dengan semua perasaan nostalgia, harapan, dan interaksi sosial yang melekat padanya, dapat berdampak besar pada kesehatan mental.

 

Dalam filsafat terdapat tiga cabang yaitu Ontologi (Keberadaan). Epistemologi (Pengetahuan), Dan Aksiologi (Nilai). Yang dimana filosofi mudik lebaran idul fitri memenuhi tiga unsur filsafat ini, Keberadaan mudik bisa dirasakan oleh pancaindra dengan melihat lingkungan sekitar yang berbeda dari hari hari biasanya.

 

Berdasarkan data lebaran beberapa tahun terakhir diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia. Sedangkan jumlah pemudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang.

 

Secara pengetahuan yang di analisa oleh akal bagaimana mudik dapat terjadi yaitu tidak lain dipengaruhi oleh adanya sejarah dan tradisi. Menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa di Khayangan.

 

Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.

 

Dan pada tahun 1970-an istilah mudik muncul Kembali. Pada saat itu perantau dari desa yang bekerja di Jakarta mendapatkan cuti hari raya dan dimanfaatkan untuk pulang kampung untuk berziarah ke keluarga yang sudah meninggal dan berkumpul dengan keluarga.

 

Dari Aksiologi mudik memiliki nilai bahkan dari sisi psikologi. Tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama. Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan permohonan maaf, akan membangun persepsi dan emosi positif.

 

Emosi positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan positif pada sistem kognitif dan memori individu. Sistem kognisi dan emosi positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.

 

Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme, yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan.

 

Menghamburkan sumberdaya, khususnya sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya tinggi. Sebaiknya tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.

 

Dari pembahasan tentang filosofi lebaran Idul Fitri dan fenomena mudik serta dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar budaya, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan pada tingkat psikologis individu.

 

Fenomena mudik mencerminkan nilai-nilai yang dalam tentang keluarga, tradisi dan identitas budaya yang memberikan rasa koneksi yang kuat kepada individu terhadap individu lain.

 

Namun, perjalanan pulang ini juga dapat menimbulkan tantangan psikologis seperti stres perjalanan, perubahan lingkungan, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Ini dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan kesejahteraan emosional hingga menimbulkan ketegangan dan kecemasan.

 

Karena itu, lakukanlah Self-Care atau selama periode mudik dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Ini bisa berupa aktivitas santai seperti meditasi, yoga, atau sekadar bersantai dengan membaca buku atau mendengarkan musik.

 

Kemudian Komunikasi Terbuka atau berbicara dengan keluarga atau teman-teman tentang perasaan dan harapan selama periode mudik dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan dukungan sosial.

 

Dan terakhir menghargai momen Bersama atau menggunakan waktu bersama keluarga dan teman-teman dengan cara yang bermakna dapat memperkuat ikatan emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.

 

Dengan melakukan hal itu diharapkan individu dapat mengatasi tantangan psikologis yang mungkin timbul selama periode mudik dan menjalani perayaan Idul Fitri dengan kesehatan mental yang kuat dan kesejahteraan yang meningkat.

 

Tulisan ini adalah opini dari Afrizal Difa Rahmansyah, Mahasiswa Program Studi S1 Psikologi Universitas Brawijaya

 

 

Share:

Latest Announcements