CloseMenu
CloseMenu
Manajemen Limbah Makanan Berbasis Aplikasi Bawa Mahasiswa Psikologi dan Tim Raih Juara 1 di Italia
FISIP UB dan Universiti Sains Malaysia Jajaki Kerjasama
Raih Juara 3 Pilmapres UB, Nisriinaa Alyaa Bawa Nama FISIP ke Panggung Prestasi
Pengumuman Jadwal Kuliah Selama Bulan Ramadhan 1446 H FISIP UB
Humas FISIP UB Jadi Pemateri di ICM Education Fair
Bahas Kesehatan Mental di Era Ekonomi Digital, Magister Sains Psikologi UB Kampanyekan YONO

Pakar komunikasi UB berkomentar terkait podcast Deddy Corbuzier

Pakar dan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB (Universitas Brawijaya) Malang, Maulina Pia Wulandari, Ph.D.

 

Akhir-akhir ini, jagat media sosial diramaikan mengenai komentar dari pakar komunikasi UI Ade Armando terkait pernikahan Atta-Aurel. Ade Armando menyebutkan bahwa pernikahan Aurel-Atta Halilintar yang memamerkan kekayaan dan kemewahan merupakan hal yang sangat memalukan dan justru menyakiti masyarakat kalangan menengah ke bawah karena hal tersebut seaka-akan menunjukkan ketidakpedulian pasangan muda ini kepada kondisi mayoritas masyarakat.

Komentar Ade Armando menuai beragam reaksi dan komentar dari berbagai pihak, tidak terkecuali Deddy Corbuzier yang ikut bersuara melalui podcastnya. Ia mengaku setuju dengan komentar dan kritikan yang dilontarkan oleh Ade Armando, dalam analisis di podcastnya Deddy tidak menyalahkan pihak yang memamerkan kekayaan di media sosialnya, justru Deddy menyalahkan netizen yang notabene lebih menyukai konten-konten yang menayangkan tentang kekayaan.

“Tapi salahkah mereka, salahkah Atta, salahkah Andre memamerkan seperti itu, gak salah”, tegas Deddy.

Dibagian selanjutnya Deddy memaparkan mengapa menyalahkan netizen dan membela artis-artis yang memamerkan konten kekayaan.

“Tenyata penonton di Indonesia, penduduk Indonesia kebanyakan suka banget hal-hal seperti itu, nonton kalau orang pamer kekayaan”, ujar Deddy.

“Sinetron dengan pamer-pamer kekayaan, nonton, vlog-vlog youtube isinya pamer mobil pamer apa ditonton jutaan orang,” lanjutnya.

Di akhir podcast deddy juga menegaskan bahwa netizen Indonesia lebih suka konten pamer kekayaan daripada konten yang mengedukasi.

Menanggapi polemik yang sedang terjadi, pakar dan dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Maulina Pia Wulandari, Ph.D, turut memberikan komentarnya. Perempuan yang merupakan alumnus Universitas Airlangga ini mengatakan bahwa harus melihat dari berbagai sudut pandang dan melihat sejarah.

“Mari kita lihat sejarah mengapa orang Indonesia, bangsa Asia, sebagian besar Eropa, dan sebagian besar Amerika, masyarakatnya suka menonton pamer kekayaan. Masyarakat yang berangkat dari sebuah negara dengan sistem kerajaan akan cenderung bersifat feodal, ungkap Pia sapaan akrabnya, Minggu (28/3/2021).

Pia menambahkan bahwa kaum bangsawan dan kaum pengusaha sengaja memamerkan kekayaan kepada masyarakat biasa. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan status sosial ekonomi mereka yang bertujuan untuk memberikan batas atau jarak sosial antara kaum bangsawan dan masyarakay biasa. Menurutnya kekayaan merupakan simbol status sosial ekonomi seseorang dan sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Bangsa Indonesia yang berdasarkan sejarah dulunya terdiri dari bebagai kerajaan dan kesultanan menciptakan sistem feodalisme, sistem ini semakin kencang dengan masa penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun. Sehingga melihat dan menilai seseorang dari harta, tahta, dan status sosial sudah menjadi budaya turun-temurun.

“Jadi budaya feodal yang memandang masyarakat dari harta benda, kekayaan, dan status sosial di masyarakat Indonesia harus dirubah”, urainya.

Pia menyadari bahwa hal ini merupakan budaya yang buruk sehingga Pia menceritakan bagaimana dia merubah sifat itu selama di Australia.

“Saat saya studi S3 di Australia, saya merubah total budaya buruk ini dari diri saya, suami saya, dan anak-anak saya. Teman-teman dekat saya di Australia menerima saya dan keluarga saya karena personality dan humanity, bukan karena status sosial saya. Yang memandang saya karena status sosial saya ya beberapa teman dari Indonesia, etnis Asia, dan sebagian Eropa”, paparnya.

Masih kata Pia bahkan di negara maju seperti Amerika juga masih memandang seseorang dari materi, kekayaan, dan status sosial mereka. “Makanya pop culture pada bidang infotainment, variety show pamer kekayaan para selebritis US seperti Kadarshian Family juga menjadi favorit”, jelasnya.

Menurut perempuan yang juga merupakan Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UB, jika sekarang pokok persoalan yang menjadi fokus bahasan bang Ade adalah selebritis sebagai komunikator di ranah publik.

“Sebagai komunikator, wajib untuk merancang pesan yang ingin disampaikan kepada komunikan (netizen) sesuai dengan tujuannya”, kata dia.

Di akun sosial medianya, Pia juga menyampaikan pesan terbuka kepada Deddy Corbuzier terkait kompleksnya proses komunikasi terutama di ruang publik.

“Komunikasi itu proses yang kompleks, mas Deddy. Bukan sekedar psoting, lalu selesai. Komunikator publik harus punya tanggung jawab sosial. Kalau mau menghapus budaya feodal yang membuat netizen suka nonton orang pamer kekayaan, upaya mas Deddy menampilkan narasumber bukan dari selebritis sangat saya apresisasi. Kita juga bisa mendidik diri kita dan keluarga kita sendiri untuk memandang orang lain dari personality dan rasa kemanusiaan”, paparnya.

Perubahan budaya karena perkembangan zaman yang sangat cepat membutuhkan usaha yang besar dalam mengimbanginya. Menyalahkan sistem pendidikan dan netizen saja dirasa kurang pas. Yang perlu adalah adanya kesadaran bersama para selebritis dan influencer untuk membuat konten yang tidak berfokus kepada pamer kekayaan.

“Bijak bermedia sosial, bijak menjadi komunikator, bijak menjadi influencer di sosial media platform akan membuat netizen menjadi ikut bijak”, tutupnya .

 

Sumber: https://malangnews.id/2021/04/18/deddy-corbuzier-buat-podcast-pakar-komunikasi-ub-berkomentar/

Share:

Latest Announcements