Kulik Perjuangan Wong Cilik Melalui Bedah Buku Ratu Adil
Penerbit Gramedia dan Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) berkolaborasi untuk menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang berjudul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik oleh Romo Sindhunata Selasa, 23 April 2024.
Saat sambutan, Dekan FISIP Prof. Anang Sujoko S.Sos., M.Si berharap pada kegiatan bedah buku ini peserta yang datang juga menawarkan pemikiran kritis atas buku ini.
Dalam kegiatan bedah buku Ratu Adil ini, ada Yusri Fajar, S.S., M.A dan Dr. phil. Anton Novenanto, S.Sos., MA selaku pembedah.
Saat memaparkan mengenai poin-poin penting mengenai isi dari buku Ratu Adil, Yusri Fajar, S.S., M.A mengemukakan bahwa buku ini dapat menjadi narasi yang melawan tulisan dari sastrawan-sastrawan barat.
“Buku ini bisa memberikan kita suatu refleksi bahwa apa yang terjadi di masa lampau secara universal nilai-nilai di dalamnya masih terjadi hari ini,” ujarnya.
Selain itu, Yusri juga mengemukakan bahwa Romo Sindhunata mengemas buku ini secara sastrawi dengan menulis senandung ratu adil di awal buku yang merepresentasikan isi disertasi tersebut.
Sementara itu, Anton Novenanto menyampaikan bahwa buku ini menawarkan perspektif mengenai masyarakat Jawa yang baru, yaitu masyarakat yang melakukan pemberontakan dan tidak hanya manut kepada penjajah.
“Kalau saya rangkum menjadi satu kalimat, Buku Ratu Adil adalah kitab sejarah tentu saja tentang wong cilik, tentang rakyat biasa. Ini bukan sebuah buku, ini sebuah kitab,” ucapnya.
Setelah para pembedah menyampaikan pandangan mereka, Romo Sindhunata menceritakan bahwa perjumpaannya dengan wong-wong cilik atau rakyat biasa menggugahnya untuk menulis tentang perjuangan mereka dalam bertahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menumbuhkan resistensi pada diri mereka.
“Marilah kita menulis sesuatu yang sesuai dengan passion kita,” tuturnya.
Menutup sesi bedah buku, Romo Sindhunata mengutarakan bahwa dalam kekalahan ada sumber harapan apabila belajar dari tradisi ratu adil yang dijelaskan buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik.
Kegiatan bedah buku ini tentu memperluas wawasan audiens mengenai sisi lain sejarah yang jarang diungkapkan oleh buku-buku sejarah pada umumnya. Selain itu, kegiatan ini dapat memantik rasa ingin tahu para audiens mengenai perjuangan masyarakat biasa dalam sejarah bangsa. (Fazlar/HUMAS FISIP)
....
2024-04-23 17:09:04
FISIP Today.
Kulik Perjuangan Wong Cilik Melalui Bedah Buku Ratu Adil
Penerbit Gramedia dan Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) berkolaborasi untuk menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang berjudul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik oleh Romo Sindhunata Selasa, 23 April 2024.
Saat sambutan, Dekan FISIP Prof. Anang Sujoko S.Sos., M.Si berharap pada kegiatan bedah buku ini peserta yang datang juga menawarkan pemikiran kritis atas buku ini.
Dalam kegiatan bedah buku Ratu Adil ini, ada Yusri Fajar, S.S., M.A dan Dr. phil. Anton Novenanto, S.Sos., MA selaku pembedah.
Saat memaparkan mengenai poin-poin penting mengenai isi dari buku Ratu Adil, Yusri Fajar, S.S., M.A mengemukakan bahwa buku ini dapat menjadi narasi yang melawan tulisan dari sastrawan-sastrawan barat.
“Buku ini bisa memberikan kita suatu refleksi bahwa apa yang terjadi di masa lampau secara universal nilai-nilai di dalamnya masih terjadi hari ini,” ujarnya.
Selain itu, Yusri juga mengemukakan bahwa Romo Sindhunata mengemas buku ini secara sastrawi dengan menulis senandung ratu adil di awal buku yang merepresentasikan isi disertasi tersebut.
Sementara itu, Anton Novenanto menyampaikan bahwa buku ini menawarkan perspektif mengenai masyarakat Jawa yang baru, yaitu masyarakat yang melakukan pemberontakan dan tidak hanya manut kepada penjajah.
“Kalau saya rangkum menjadi satu kalimat, Buku Ratu Adil adalah kitab sejarah tentu saja tentang wong cilik, tentang rakyat biasa. Ini bukan sebuah buku, ini sebuah kitab,” ucapnya.
Setelah para pembedah menyampaikan pandangan mereka, Romo Sindhunata menceritakan bahwa perjumpaannya dengan wong-wong cilik atau rakyat biasa menggugahnya untuk menulis tentang perjuangan mereka dalam bertahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menumbuhkan resistensi pada diri mereka.
“Marilah kita menulis sesuatu yang sesuai dengan passion kita,” tuturnya.
Menutup sesi bedah buku, Romo Sindhunata mengutarakan bahwa dalam kekalahan ada sumber harapan apabila belajar dari tradisi ratu adil yang dijelaskan buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik.
Kegiatan bedah buku ini tentu memperluas wawasan audiens mengenai sisi lain sejarah yang jarang diungkapkan oleh buku-buku sejarah pada umumnya. Selain itu, kegiatan ini dapat memantik rasa ingin tahu para audiens mengenai perjuangan masyarakat biasa dalam sejarah bangsa. (Fazlar/HUMAS FISIP)
2024-04-23 17:09:04
○ FISIP Today.
Update: Pengumuman Pembagian Kelompok FISIP Berbakti Desa
Pembagian kelompok FISIP Berbakti Desa (FBD) telah selesai dilakukan. Kelompok ini tersebar di desa desa di Kabupaten Malang.
Peserta FBD atau Jantra ini bisa mengakses pembagian kelompok di link berikut
Call center terkait FISIP Berbakti Desa (Jantra) ini bisa menghubungi 081133329393 (WA Only)....
2024-04-22 17:09:50
FISIP Today.
Update: Pengumuman Pembagian Kelompok FISIP Berbakti Desa
Pembagian kelompok FISIP Berbakti Desa (FBD) telah selesai dilakukan. Kelompok ini tersebar di desa desa di Kabupaten Malang.
Peserta FBD atau Jantra ini bisa mengakses pembagian kelompok di link berikut
Call center terkait FISIP Berbakti Desa (Jantra) ini bisa menghubungi 081133329393 (WA Only)
2024-04-22 17:09:50
○ FISIP Today.
Filosofi Mudik Lebaran Yang Berpengaruh Terhadap Psikologi Masyarakat Indonesia
Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi acara tahunan di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam, namun di Indonesia tidak hanya umat Islam saja yang merayakan hari raya Idul Fitri, umat agama lainnya seperti agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu juga ikut memeriahkannya.
Salah satu ciri khas perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah fenomena mudik. Mudik yaitu fenomena sosio-kultural atau yang kerap masyarakat Indonesia lakukan dengan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga. Fenomena mudik memiliki konsekuensi sosial, budaya, dan psikologis yang signifikan selain perjalanan fisik.
Dalam situasi seperti ini, sangat menarik untuk memahami bagaimana fenomena mudik mempengaruhi psikologis seseorang. Kesehatan mental adalah komponen yang sangat penting dari kesejahteraan seseorang, yang mencakup keseimbangan emosional, psikologis, dan sosial yang positif.
Pengalaman mudik, dengan semua perasaan nostalgia, harapan, dan interaksi sosial yang melekat padanya, dapat berdampak besar pada kesehatan mental.
Dalam filsafat terdapat tiga cabang yaitu Ontologi (Keberadaan). Epistemologi (Pengetahuan), Dan Aksiologi (Nilai). Yang dimana filosofi mudik lebaran idul fitri memenuhi tiga unsur filsafat ini, Keberadaan mudik bisa dirasakan oleh pancaindra dengan melihat lingkungan sekitar yang berbeda dari hari hari biasanya.
Berdasarkan data lebaran beberapa tahun terakhir diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia. Sedangkan jumlah pemudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang.
Secara pengetahuan yang di analisa oleh akal bagaimana mudik dapat terjadi yaitu tidak lain dipengaruhi oleh adanya sejarah dan tradisi. Menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.
Dan pada tahun 1970-an istilah mudik muncul Kembali. Pada saat itu perantau dari desa yang bekerja di Jakarta mendapatkan cuti hari raya dan dimanfaatkan untuk pulang kampung untuk berziarah ke keluarga yang sudah meninggal dan berkumpul dengan keluarga.
Dari Aksiologi mudik memiliki nilai bahkan dari sisi psikologi. Tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama. Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan permohonan maaf, akan membangun persepsi dan emosi positif.
Emosi positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan positif pada sistem kognitif dan memori individu. Sistem kognisi dan emosi positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.
Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme, yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan.
Menghamburkan sumberdaya, khususnya sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya tinggi. Sebaiknya tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.
Dari pembahasan tentang filosofi lebaran Idul Fitri dan fenomena mudik serta dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar budaya, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan pada tingkat psikologis individu.
Fenomena mudik mencerminkan nilai-nilai yang dalam tentang keluarga, tradisi dan identitas budaya yang memberikan rasa koneksi yang kuat kepada individu terhadap individu lain.
Namun, perjalanan pulang ini juga dapat menimbulkan tantangan psikologis seperti stres perjalanan, perubahan lingkungan, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Ini dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan kesejahteraan emosional hingga menimbulkan ketegangan dan kecemasan.
Karena itu, lakukanlah Self-Care atau selama periode mudik dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Ini bisa berupa aktivitas santai seperti meditasi, yoga, atau sekadar bersantai dengan membaca buku atau mendengarkan musik.
Kemudian Komunikasi Terbuka atau berbicara dengan keluarga atau teman-teman tentang perasaan dan harapan selama periode mudik dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan dukungan sosial.
Dan terakhir menghargai momen Bersama atau menggunakan waktu bersama keluarga dan teman-teman dengan cara yang bermakna dapat memperkuat ikatan emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
Dengan melakukan hal itu diharapkan individu dapat mengatasi tantangan psikologis yang mungkin timbul selama periode mudik dan menjalani perayaan Idul Fitri dengan kesehatan mental yang kuat dan kesejahteraan yang meningkat.
Tulisan ini adalah opini dari Afrizal Difa Rahmansyah, Mahasiswa Program Studi S1 Psikologi Universitas Brawijaya
....
2024-04-18 11:23:33
FISIP Today.
Filosofi Mudik Lebaran Yang Berpengaruh Terhadap Psikologi Masyarakat Indonesia
Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi acara tahunan di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam, namun di Indonesia tidak hanya umat Islam saja yang merayakan hari raya Idul Fitri, umat agama lainnya seperti agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu juga ikut memeriahkannya.
Salah satu ciri khas perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah fenomena mudik. Mudik yaitu fenomena sosio-kultural atau yang kerap masyarakat Indonesia lakukan dengan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga. Fenomena mudik memiliki konsekuensi sosial, budaya, dan psikologis yang signifikan selain perjalanan fisik.
Dalam situasi seperti ini, sangat menarik untuk memahami bagaimana fenomena mudik mempengaruhi psikologis seseorang. Kesehatan mental adalah komponen yang sangat penting dari kesejahteraan seseorang, yang mencakup keseimbangan emosional, psikologis, dan sosial yang positif.
Pengalaman mudik, dengan semua perasaan nostalgia, harapan, dan interaksi sosial yang melekat padanya, dapat berdampak besar pada kesehatan mental.
Dalam filsafat terdapat tiga cabang yaitu Ontologi (Keberadaan). Epistemologi (Pengetahuan), Dan Aksiologi (Nilai). Yang dimana filosofi mudik lebaran idul fitri memenuhi tiga unsur filsafat ini, Keberadaan mudik bisa dirasakan oleh pancaindra dengan melihat lingkungan sekitar yang berbeda dari hari hari biasanya.
Berdasarkan data lebaran beberapa tahun terakhir diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia. Sedangkan jumlah pemudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang.
Secara pengetahuan yang di analisa oleh akal bagaimana mudik dapat terjadi yaitu tidak lain dipengaruhi oleh adanya sejarah dan tradisi. Menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.
Dan pada tahun 1970-an istilah mudik muncul Kembali. Pada saat itu perantau dari desa yang bekerja di Jakarta mendapatkan cuti hari raya dan dimanfaatkan untuk pulang kampung untuk berziarah ke keluarga yang sudah meninggal dan berkumpul dengan keluarga.
Dari Aksiologi mudik memiliki nilai bahkan dari sisi psikologi. Tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama. Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan permohonan maaf, akan membangun persepsi dan emosi positif.
Emosi positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan positif pada sistem kognitif dan memori individu. Sistem kognisi dan emosi positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.
Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme, yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan.
Menghamburkan sumberdaya, khususnya sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya tinggi. Sebaiknya tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.
Dari pembahasan tentang filosofi lebaran Idul Fitri dan fenomena mudik serta dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar budaya, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan pada tingkat psikologis individu.
Fenomena mudik mencerminkan nilai-nilai yang dalam tentang keluarga, tradisi dan identitas budaya yang memberikan rasa koneksi yang kuat kepada individu terhadap individu lain.
Namun, perjalanan pulang ini juga dapat menimbulkan tantangan psikologis seperti stres perjalanan, perubahan lingkungan, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Ini dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan kesejahteraan emosional hingga menimbulkan ketegangan dan kecemasan.
Karena itu, lakukanlah Self-Care atau selama periode mudik dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Ini bisa berupa aktivitas santai seperti meditasi, yoga, atau sekadar bersantai dengan membaca buku atau mendengarkan musik.
Kemudian Komunikasi Terbuka atau berbicara dengan keluarga atau teman-teman tentang perasaan dan harapan selama periode mudik dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan dukungan sosial.
Dan terakhir menghargai momen Bersama atau menggunakan waktu bersama keluarga dan teman-teman dengan cara yang bermakna dapat memperkuat ikatan emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
Dengan melakukan hal itu diharapkan individu dapat mengatasi tantangan psikologis yang mungkin timbul selama periode mudik dan menjalani perayaan Idul Fitri dengan kesehatan mental yang kuat dan kesejahteraan yang meningkat.
Tulisan ini adalah opini dari Afrizal Difa Rahmansyah, Mahasiswa Program Studi S1 Psikologi Universitas Brawijaya
FISIP menawarkan berbagai program pendidikan sarjana dan pascasarjana dalam bidang ilmu sosial dan politik.
Program-program ini dirancang untuk mempersiapkan mahasiswa untuk sukses dalam karir mereka di sektor publik, swasta, dan nirlaba.
FISIP berkomitmen untuk menyediakan mahasiswa dengan pendidikan berkualitas tinggi yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja saat ini. Fakultas ini memiliki tim dosen yang berpengalaman dan berkualitas, serta fasilitas pendidikan yang lengkap dan modern. FISIP juga memiliki jaringan kerja yang luas dengan berbagai institusi di dalam dan luar negeri, yang memberikan mahasiswa berbagai kesempatan untuk belajar dan magang.
Pusat Data berisikan data data yang ada di FISIP UB. Beberapa data data yang ditampilkan seperti data Sumber Daya Manusia, Gugus Jaminan Mutu hingga Peraturan Dekan atau Fakultas.
Data data ini bisa diakses oleh public dan digunakan untuk pengembangan FISIP kedepannya
Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) adalah program yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan mendorong mahasiswa untu menguasai berbagai keilmuan untuk bekal memasuki dunia kerja.
FISIP UB telah mengumpulkan berbagai macam peluang karir yang ada dari berbagai pihak dan institusi agar mahasiswa bisa mendapatkan kesempatan yang sama.