4th Brawijaya Communication International Conference (BCIC) 2024 yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya sukses digelar secara virtual pada 28-30 Oktober 2024.
Konferensi ini membahas beragam dampak dari perkembangan teknologi khususnya kecerdasan buatan (AI) dan big data terhadap praktik komunikasi hingga implikasinya pada kesehatan mental mahasiswa. Hari kedua konferensi virtual ini menghadirkan sesi keynote speech dan plenary oleh Prof. Jim Macnamara, Yuyun Agus Riani, Ph.D., Maulina Pia Wulandari, Ph.D., dan Reza Safitri, Ph.D.
Konferensi ini mengadopsi format yang komprehensif. Pada hari pertama diisi oleh sesi keynote speech oleh akademisi terkemuka dan praktisi komunikasi global, kemudian sesi plenary oleh dosen terkemuka Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.
Hari kedua BCIC 2024 tidak hanya menggelar sesi keynote speech dan plenary namun mengadakan sesi breakout room dengan peserta konferensi. Di sini, para peserta berdiskusi secara mendalam membahas beragam dampak dari perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan big data, terhadap praktik komunikasi.
Pada hari kedua konferensi, dalam sesi keynote speech. Prof. Jim Macnamara dari University of Technology Sydney menyampaikan bahwa perubahan sosial di era digital dapat dipicu oleh faktor teknologi, lingkungan, dan dinamika sosial.
“Di era digital ini, organisasi perlu mendengarkan audiens melalui riset, media sosial, analisis teks, hingga AI untuk membangun komunikasi yang relevan dan bermakna,” ungkapnya.
Data terbaru yang diangkat dalam presentasi menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dalam jumlah pengguna internet, memperkuat urgensi bagi organisasi untuk mengembangkan strategi komunikasi yang interaktif dan responsif.
Sesi plenary pertama menghadirkan Yuyun Agus Riani, Ph.D., yang menyoroti risiko dari fenomena Digital Dating Violence (DDV) bagi kesejahteraan mental remaja. Salah satu bentuk DDV yang disorot adalah Password Sharing Demands, yaitu ketika salah satu pasangan menekan pasangannya untuk berbagi akses ke akun media sosialnya. Perilaku ini berakar pada kontrol berlebihan yang dapat menyebabkan pelanggaran privasi dan menciptakan isolasi sosial bagi korban.
Pada sesi plenary berikutnya, Maulina Pia Wulandari, Ph.D membahas pentingnya Digital PR di era PR 4.0 yang kini melibatkan big data, AI dan komunikasi interaktif untuk membangun hubungan kepercayaan real-time dengan audiens.
“Indonesia, dengan jumlah pengguna internet yang besar, memiliki peluang besar bagi organisasi untuk menjangkau audiens secara efektif, namun perkembangan ini juga menciptakan tantangan bagi praktisi PR, terutama di daerah yang masih memiliki keterbatasan akses infrastruktur digital,” ungkap Maulina.
Sesi plenary terakhir yang disampaikan oleh Reza Safitri, Ph.D., mengkaji peningkatan kecemasan di kalangan mahasiswa, yang sering kali dipicu oleh paparan konten negatif di media sosial.
“Media sosial memiliki efek ganda bisa meningkatkan kesadaran atau sebaliknya, menjadi pemicu tekanan mental,” jelas Reza.
Konferensi virtual ini berhasil menghadirkan perspektif global yang kaya mengenai bagaimana teknologi, kecerdasan buatan, dan literasi digital dapat berperan dalam mengatasi tantangan di bidang komunikasi, Public Relations hingga kesehatan mental di era digital yang terus berkembang.